MENGENAL META ANALISIS
11.10
PENDAHULUAN
Meta-analysis
lebih tidak bersifat subjektif dibandingkan dengan metode tinjauan lain. Meta
analysis tidak fokus pada kesimpulan yang didapat pada berbagai studi,
melainkan fokus pada data, seperti melakukan operasi pada variabel- variabel,
besarnya ukuran efek, dan ukuran sampel. Untuk mensintesis literatur riset,
meta-analysis statistikal menggunakan hasil akhir dari studi-studi yang serupa
seperti ukuran efek, atau besarnya efek. Fokus pada ukuran efek dari penemuan
empiris ini merupakan keunggulan meta-analysis dibandingkan dengan metode
tinjauan literatur lain.
Meta-analysis
memungkinkan adanya pengkombinasian hasil-hasil yang beragam dan memperhatikan
ukuran sampel relatif dan ukuran efek. Hasil dari tinjauan ini akurat mengingat
jangkauan analisis ini yang sangat luas dan analisis yang terpusat.
Meta-analysis juga menyediakan jawaban terhadap masalah yang diperdebatkan karena
adanya konflik dalam penemuan-penemuan beragam studi serupa.
DEFINISI
Meta
analisis merupakan analisis kuantitatif dan menggunakan sejumlah data yang
cukup banyak serta menerapkan metode statistik dengan mempraktekkannya dalam
mengorganisasikan sejumlah informasi yang berasal dari sampel besar yang
fungsinya untuk melengkapi maksud-maksud lainnya (Glass, 1981).
Menurut
Borg (1983) bahwa, meta analisis merupakan teknik pengembangan paling baru
untuk menolong peneliti menemukan kekonsistenan atau ketidakkonsistenan dalam
pengkajian hasil silang dari hasil penelitian.
Meta-analisis
merupakan studi dengan cara menganalisis data yang berasal dari studi primer.
Hasil analisis studi primer dipakai sebagai dasar untuk menerima atau mendukung
hipotesis, menolak/menggugurkan hipotesis yang diajukan oleh beberapa
peneliti(Sugiyanto,2004).
Meta-analisis
adalah tehnik yang digunakan untuk merangkum berbagai hasil penelitian secara
kuantitatif dengan cara mencari nilai efek size (Barbora 2009; Sutrisno, Hery,
Kartono 2007).
Jadi,
dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan sehingga pengertian Meta
Analisis merupakan sebuah pendekatan statistik untuk integrasi dan rangkuman
hasil dari studi independen secara sistematis, menyeluruh, obyektif, dan
kuantitatif. Dua aspek yang berbeda dari hasil yang diproleh dibandingkan,
yaitu besarnya perbedaan antara kelompok yang meliputi efek ukuran dan
perbedaan hasil statistik yang signifikan antara kelompok. Analisis Meta
difokuskan hanya pada salah satu aspek tapi pada kenyataannya, berbagai metode
tersedia untuk digunakan dalam analisa Meta. terlepas dari metode yang
digunakan, semua analisis meta melibatkan tiga fase utama tiga yaitu persiapan,
kinerja, dan presentasi.
Tahapan
dalam mengerjakan meta-analisis (Jammie 2004; Sutrisno, Hery, Kartono 2007)
1. menetapkan
domain penelitian yang akan dirangkum
2. memilih
jenis publikasi yang akan dikumpulkan
3. mengumpulkan
hasil penelitian atau literatur
4. mencatat
data-data (variabel-variabel) penelitian
5. menghiting
efek size per sumber atau penelitian
6. menginterpretasi
rangkuman dan membuat laporan
TUJUAN
Dengan
adanya analisis Meta memberikan kita pengetahuan baru mengenai studi sintesis
yang menarik. Menurut Sack dkk, ada empat tujuan utama dari percobaan analisis
Meta, yaitu:
1)
Untuk meningkatkan daya pada titik akhir
primer dan pada sub kelompok yang mana ukuran sampel yang asli terlalu kecil
sehingga menunjukkan statistik secara signifikan.
2)
Untuk menyelesaikan ketidakpastian hasil
laporan.
3)
Untuk meningkatkan perkiraan ukuran efek.
4)
Untuk menjawab pertanyaan yang tidak diajukan
sebelumnya.
5)
Untuk memperoleh estimasi effect size, yaitu
kekuatan hubungan ataupun besarnya perbedaan antar variabel
6)
Melakukan inferensi dari data dalam sampel ke
populasi (estimasi atau uji hipotesis)
7)
Melakukan kontrol terhadap variabel yang potensial
bersifat sebagai perancu (confounder) agar tidak mengganggu kemaknaan statistik
dari hubungan atau perbedaan.
JENIS
– JENIS
Meta Analisis yang telah dikembangkan oleh
Glass pada tahun 1976 memperkenalkan jenis-jenis meta analisis sebagai berikut
:
·
Analysis of Moderator Effects
Berikut
ini adalah Metode umum dalam Detecting/Assessing Moderator Effects :
-
Graphing – OLS regression
- Q
Stastistics (chi-square test) – WLS regression
-
Variance analysis – Partition test
-
Outlier test
·
Mediator Assessment Methods
Merupakan
teknik yang penting dalam metode meta-analysis yang berfungsi untuk
meng-address hubungan struktural, menganalisa apakah korelasi matriks dari
populasi umum mendasari sebuah himpunan dari hasil empiris yang didapatkan. Ada
dua alternatif pendekatan untuk mempelajari mediator effect, yaitu:
1.
mengkombinasi dan menganalisa korelasi pengembangan meta-analysis
2.
studi koefisien secara langsung dari kepentingan sebagai effect size.
METODE
Penelitian
meta analisis ini merupakan penelitian yang menggunakan data sekunder berupa
data-data dari hasil penelitian sebelumnya Dengan demikian penelitian ini dapat
disebut sebagai penelitian yang bersifat ex post facto yang berbentuk survey
dan analisis kepustakaan terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
melaksanakan suatu meta analisis:
1) Glass (1981) = fokus pada deteksi dari
moderator variabel.
2) Hedges dan Olkin (1985) = memakai teknik
weighted least squares
3) Rosenthal dan Rubin (1991) = sama seperti
Hedges-Olkin, bedanya hanya pada test signifikansi untuk mengkombinasikan
effect size
4) Hunter dan Schmidt (1990) = bedanya dengan
yang lain adalah metode ini berusaha mengkoreksi error potensial sebelum
meta-analysis mengintegrasikan effect study antar studi.
Tehnik
Hunter dan Schmidt lebih sering digunakan karena teknik ini dianggap oleh para
peneliti sebagai teknik yang paling lengkap, karena selain dapat dipergunakan
untuk mengkaji effect size, teknik Hunter Schimidt dapat juga dipergunakan
untuk mengkoreksi kesalahan sebagai akibat error of measurement, maupun man
made error (artifact) yang lain.
Dalam
upaya melakukan sintesa dari beberapa penelitian, terlebih dahulu dilakukan
koreksi terhadap artefak atau ketidaksempurnaan penelitian (Sugiyanto,2004). Hunter
& Schmidt (1990) menyebutkan sedikitnya ada 11 artefak yaitu:
1. Kesalahan pengambilan sampel
2. Kesalahan pengukuran pada variabel
dependen
3. Kesalahan pengukuran pada variabel
independent
4. Dikotomi variabel dependen
5. Dikotomi variabel independent
6. Variasi rentangan dalam variabel
independent
7. Artefak atrisi
8. Ketidaksempurnaan validitas konstruk pada
variabel dependen
9. Ketidaksempurnaan validitas konstruk pada
variabel independen
10.Kesalahan pelaporan atau transkripsi
11.Varians yang disebabkan oleh faktor luar.
Hunter,
J.E., & Schmidt, F.L.(1990 )mengemukakan langkah-langkah/metode analisis
korelasi meta-analisis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Transformasi harga F ke dalam t, d, dan r
b. Bare Bone Meta Analysis: Koreksi Kesalahan
sampel
1).
Menghitung mean korelasi populasi
2).
Menghitung varians rxy
3).
Menghitung varians kesalahan pengambilan sampel
4).
Dampak pengambilan sampel
c. Artefak yang lain: Koreksi Kesalahan
Pengukuran
1).
Menghitung mean gabungan
2).
Menghitung korelasi populasi yang dikoreksi oleh kesalahan pengukuran
3).
Interval kepercayaan
4).
Dampak variasi reliabilitas
KESIMPULAN
· Meta analisis = integratif literature,
review, artikel.
· Suatu studi yang menggabungkan hasil banyak
studi orisinal, sistematis, terencana, observasi retrospektif, dengan analisis
statistika yang formal.
· Hampir sama dengan sistematik review, namun
pada sistematik review tidak menggunakan analisis statistik yang formal.
SUMBER :
Glass,
G.V. (1976) “Primary, Secondary, and Meta-Analysis of Research”,Review of
research in Education,
http://www.blackwellpublishing.com/medicine/bmj/systreviews/)
SEBUAH CERITA UNTUK BUKU TEKS PELAJARAN
23.05“Buku adalah Jendela Dunia,
kalau tidak suka membaca buku otak kita akan beku”
Kata mutiara ini selalu kita dengar dimana – dimana entah di buku bacaan, di sekolah, di perpustakaan, dll. Ketika kita sekolah pasti memiliki buku wajib sebagai acuan mata pelajaran tertentu. Buku Pelajaran biasanya berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di tempat tinggal kita. Dimulai dengan daftar isi untuk memperjelas bab – bab yang akan dibahas di buku, tidak lupa dengan memberikan ilustrasi gambar untuk memperjelas makna materi yang disampaikan serta daftar pustaka sebagai referensi dan menghindari copycat / plagiat.
Kalau dipikir – pikir membuat buku pelajaran gampang – gampang susah, apalagi untuk membuat buku pelajaran di bidang tertentu harus dari ahli studinya? penulis yang profesionalkah? Atau harus Guru – guru yang menulis buku teks pelajaran? Berikut ini kami paparkan hasil wawancara dengan Guru mengenai pengalaman beliau dalam menulis buku pelajaran yang kini sudah banyak menulis di buku Sejarah, PKN, dan Sosiologi. Wah banyak sekali karya bukunya, apakah beliau orang yang sangat ahli dan pintar sehingga banyak menulis buku? Mari kita simak hasil wawancara kami dengan beliau.
Drs. I Wayan Badrika. Msi, itulah nama penulis yang sudah menerbitkan banyak bukunya. Sekarang beliau masih aktif mengajar di SMA N 53 Jakarta Timur di bidang studi SEJARAH. Ketika kami menanyakan apa yang menjadi tertarik untuk membuat buku teks pelajaran, Pak Wayan malah mengatakan “Awalnya saya tidak pernah punya niat dan membayangkan untuk bisa menjadi penulis apalagi untuk buku teks pelajaran”. Wah Bapak Wayan bercanda nih mengatakan tidak pernah niat membuat buku pelajaran. “Awalnya saya hanya pernah membuat buku diktat yang sudah disesuaikan kurikulum oleh dosen saya” jelasnya. Buku diktat ini menjadi pegangan Pak Wayan untuk mempelajari ketika beliau masih kuliah.
Pada tahun 1986, Pak Wayan menjadi Guru di sekolah negeri bilangan Jakarta. Pada saat itu, murid – murid di sekolahnya mengharuskan untuk membeli buku pelajaran di Jatinegara yang terbilang murah tetapi tidak juga ada yang membelinya. “Makannya saya bingung harga buku sebenarnya hanya Rp 7000,00 ditawar lagi ke Rp 4000,00 masih bisa kok”imbuhnya. Akhirnya Pak Wayan memutuskan untuk mengedit diktatnya sesuai dengan kurikulum saat itu sebanyak 50 halaman, lalu difotocopy dan diperbanyak di rayon Jakarta Timur per anak dikenakan biaya Rp 15.000,00. Pak Wayan tidak menyangka yang tadinya beliau harus memperbanyak sebanyak 450 jilid menjadi terus bertambah pesanannya menjadi 1800 jilid. “Kalau pesanannya banyak begini syukur tetapi itu semua masih saya lakukan sendiri – sendiri belum dibawa ke penerbit. Mau cetak, fotocopy, antarin buku, mengambil jatah duit semua serba sendiri”.
Setelah proses 3 tahun lamanya (tahun 1987 - 1989), Pak Wayan membawa buku diktatnya untuk diterbitkan ke Penerbit Erlangga pada bulan Agustus tahun 1989. Ternyata Pak Wayan tidak segera dipanggil untuk dicetak dan harus sabar menunggu. Setahun kemudian pada tahun 1990, Pak Wayan baru mendapatkan panggilan dari Penerbit Erlangga bahwa bukunya segera dicetak. Dan tahun 1991 barulah bukunya resmi terbit dan dijual ke pasaran, “Memang dulu proses untuk bisa menerbitkan buku pelajaran membutuhkan waktu lama, dari proses editornya, penyuntingan naskah, dll. Itu memang yang saya tidak bayangkan akhirnya bisa menerbitkan buku pelajaran”curhatnya.
Pak Wayan mengaku beliau bukan orang pintar dan profesional dalam menulis buku pelajaran. Tetapi kalau kita banyak baca, mencari sumber – sumber referensi, dan bisa menyusun kurikulum, membuat buku pelajaran tidak menjadi penghalang karena berpatokan dengan UU Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. “Jujur daya tangkap pemahaman saya tidak sebagus orang lain biasanya sekali atau dua kali langsung paham. Saya sampai 4 – 5 kali baru bisa paham, sekali baca belum mengerti, kedua kalinya masih belum mengerrti, ketiga kalinya sudah mulai sedikit mengerti, keempat-kelima kalinya sudah bisa paham materinya”akunya.
Awal menyusun buku pelajaran dimulai dengan membaca kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah lalu diuraikan materinya baru kita bisa menulis Bab 1 Bab 2 Bab 3 dan seterusnya. Di dalam bab – bab tidak hanya misalkan Bab 1 habis tetapi biasanya ditambahin sub bab supaya tidak terlalu pusing membacanya dan gampang dimengerti. “Lalu ada yang lebih penting juga nih, dalam membuat buku kita harus memperhatikan kondisi pembaca bukunya”imbuhnya. Kalau sasaran untuk anak tingkat SD, panjang kalimat tidak boleh lebih dari 20 kata dan memperbanyak gambar pendukung. Untuk tingkat SMP bahasa juga diusahakan juga tidak terlalu rumit karena kawasan pengetahuan awal belum terlalu banyak tetapi kata-kata yang sulit bisa dimasukkan ke dalam Glosarium (arti jkata-kata sulit). Untuk tingkat SMA materinya dimulai dari kata – kata sederhana lalu ke kompleks guna untuk meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik. “Dulu saya sempat ingin menulis buku untuk tingkat anak SD, tetapi saya ragu apakah tulisan saya bisa dimengerti tidak oleh anak SD? Bahasanya ketinggian tidak? Lalu saya memutuskan untuk tidak meneruskan karena sebenarnya buku untuk sasaran SD sedikit sulit hehe”kata Pak Wayan.
“Buku Pelajaran di bidang eksak jaman sekarang ini minim definisi ya?tanyanya, kalau kita mencoba tanya segitiga itu apa? Orang – orang juga menjawabnya segitiga dalam bentuk gambar, lalu kalau kita singgung apa definisi dari segitiga? Pasti masih kesulitan untuk menjelaskan lebih detailnya. Dahulu, beliau diajarkan oleh dosen – dosennya selalu menjelaskan dengan menggunakan definisi supaya pemahaman kita baik apa yang dimaksud dengan objek tadi jadi tidak hanya sekedar tahu saja.”Dosen saya kalau menjelaskan sesuatu tidak melulu di depan papan tulis, saat menjelaskan gelombang itu apa? maka beliau mengajak peserta didik untuk belajar diluar kelas. Kita melihat air di ember apakah terjadi gelombang? Lalu kita melihat gelombang di pantai apakah terlihat? Baru kita bisa mengerti definisi gelombang adalah bla bla..”jelasnya. Itu yang bisa menjadi acuan kita dalam membuat isi materi di buku pelajaran.
Terakhir jangan lupa untuk mencantumkan daftar pustaka untuk menunjukkan sumber referensi kita karena pasti tidak semua tulisan kita orisinil. Semua materi pasti membutuhkan sumber – sumber yang sudah ada untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita. Nah dengan mencantumkan daftar pustaka dan sumber yang relevan itu berguna tidak terjadi penyalahgunaan yang bisa dianggap plagiat atau copycat. “Kadang dalam menulis buku kita suka terpengaruh kata orang – orang bahwa yang kita tulis, pembacanya sudah tahu banyak materinya terus kita jadi tidak melanjutkan menulis. Jangan seperti itu, terus fokuskan kita menulis buku pelajaran untuk mereka yang belum punya pengetahuan”imbuhnya. Karena tekad Pak Wayan dalam menulis buku pelajaran, kini beliau sudah banyak menerbitkan Buku Sejarah tingkat SMP dan SMA tahun 1997, Buku IPS Terpadu bersama penulis – penulis lainnya tahun 2005, terakhir Buku Sosiologi tahun 2012, dan sekarang sedang proses menulis Buku PKN. Untuk usia pakai buku pelajaran, Pak Wayan menuturkan “Buku pelajaran jika sudah 3 kali pencetakan terjual, maka yang keempat kalinya kita revisi lagi terus cetak dan terbit, dan 3 kali pencetakan revisi lagi dan seterusnya sambil mengikuti perkembangan kurikulum terbaru.” Pak Wayan berpesan pada kita jika ada keinginan untuk menjadi penulis buku pelajaran tidak harus ahli di bidang studi tidak masalah asalkan kita banyak – banyak membaca buku dan mencari sumber sudah bisa menulis buku pelajaran.
Inilah
hasil wawancara kami dengan Pak Wayan, Guru Sejarah yang berpengalaman dalam
membuat buku teks pelajaran. Hal ini banyak informasi yang kita simpulkan dalam
menyusun buku teks pelajaran dimulai dari mengumpulkan sumber-sumber bacaan buku, membaca kurikulum untuk
kita uraikan dan menulis materi – materi. Setelah materi selesai ditulis baru
kita susun bagian awal (Cover,
judul, daftar isi, daftar lain), dilanjutkan ke bagian isi materi (bab – bab, sub bab, dan pokok bahasan), dan
terakhir bagian akhir (Lampiran,
Glosarium, Kepustakaan). Bahasa yang digunakan juga kita sesuaikan dengan
kondisi pembaca, sebaiknya memberikan definisi dan penjelasan dengan kata –
kata sederhana ke kompleks. Dan yang paling penting memfokuskan pikiran tujuan
kita menulis buku teks pelajaran untuk mereka yang belum punya pengetahuan.
Sekian~
By : Rizki Ariyanti, Melinawati, Suci Utari
LULUSAN TP MEMILIH KATEGORI ADOPTER...??
09.22
Diskusi difusi inovasi pendidikan masih berlanjut nih, topik kali ini mengenai lulusan TP nanti bisa termasuk kategori adopter manakah dan alasan kenapa bisa memilih adopter itu. Pertanyaan ini diberikan oleh Asisten Dosen mata kuliah ini Ibu Retno Widyaningrum mengenai hubungan innovativeness dengan kategori adopter. Seperti yang kita ketahui TP diciptakan untuk membantu orang belajar dan bisa memecahkan masalah belajar. Karena itu, perlunya inovasi yang baik untuk bisa memecahkan masalah dengan baik pula. Tujuan kita memahami pertanyaan masalah ini supaya nantinya kita bisa memahami lebih mendalam hubungan innovativeness dengan kategori adopter ini dan kita bisa mengetahui kita sebagai TP bisa menjadi calon adopter yang mana dan baik untuk bisa membantu orang belajar.
1. Innovator, individu atau kelompok ini bisa dibilang sebagai perintis dan siap menjadi yang pertama menggunakan inovasi yang baru. Prosentase kategori ini sangat sedikit 2,5% karena sedikitnya orang-orang yang pro terhadap inovasi yang berdatangan.
2. Early Adopter, kategori ini bisa dibilang pemakai awal tetapi mereka masih mencari informasi terlebih dahulu mengenai inovasi yang diterima sebelum menggunakannya.
3. Early Majority, sesuai namanya mayoritas awal artinya mereka menunggu dan melihat early majority sebagai pengguna awal inovasi apakah baik atau buruk. Kategori ini tidak mau terlalu cepat mengambil keputusan sebelum menggunakannya jika inovasi ini layak digunakan barulah mereka berani mencoba.
4. Late Majority, Kategori ini sangat hati-hati mengenai fungsinya dari inovasi tersebut, mereka memlih jadi mayoritas akhir dan menunggu hasil dari kelompok-kelompok lain bahwa inovasi ini benar-benar bermanfaat.
5. Laggard, kelompok ini yang menjadi paling akhir dalam mengadopsi inovasi karena bersifat tradisional dan segan mencoba hal-hal yang baru karena mereka pikir ini sudah jadi kebiasaan dan tidak memerlukan hal yang baru.
Yukk mari kita bahas lebih mendalam mengenai materi ini. Pembahasan ini akan saya sajikan bersama hasil chart-chart dari responden yang berasal dari kelas Non Reguler dalam menjawab pertanyaan yang diberikan Ibu Retno ini. Tapi sebelumnya akan lebih baik kita sedikit menjelaskan apa yang dimaksud dengan Innovativeness dan Tingkatan Adopternya.
Innovativeness adalah individu atau kelompok yang cepat menerima inovasi yang datang dibanding masyarakat lain yang kurang menerima perubahan-perubahan, mereka yang cepat menerima inovasi berpikir inovasi ini pasti bisa memberikan keuntungan dan untuk perubahan yang lebih baik. Sedangkan adopter adalah sekelompok pemakai dan penerima inovasi tersebut. Jadi jelas innovativeness berhubungan dengan kategori adopter karena kita bisa mengelompokkan para adopter yang menerima inovasi tersebut sesuai dengan tingkat kecepatan mereka menerima inovasi ini. Karena bermacam-macamnya tingkatan penerimaan inovasi dikategorikan seperti yang dijelaskan dibawah ini :
1. Innovator, individu atau kelompok ini bisa dibilang sebagai perintis dan siap menjadi yang pertama menggunakan inovasi yang baru. Prosentase kategori ini sangat sedikit 2,5% karena sedikitnya orang-orang yang pro terhadap inovasi yang berdatangan.
2. Early Adopter, kategori ini bisa dibilang pemakai awal tetapi mereka masih mencari informasi terlebih dahulu mengenai inovasi yang diterima sebelum menggunakannya.
3. Early Majority, sesuai namanya mayoritas awal artinya mereka menunggu dan melihat early majority sebagai pengguna awal inovasi apakah baik atau buruk. Kategori ini tidak mau terlalu cepat mengambil keputusan sebelum menggunakannya jika inovasi ini layak digunakan barulah mereka berani mencoba.
4. Late Majority, Kategori ini sangat hati-hati mengenai fungsinya dari inovasi tersebut, mereka memlih jadi mayoritas akhir dan menunggu hasil dari kelompok-kelompok lain bahwa inovasi ini benar-benar bermanfaat.
5. Laggard, kelompok ini yang menjadi paling akhir dalam mengadopsi inovasi karena bersifat tradisional dan segan mencoba hal-hal yang baru karena mereka pikir ini sudah jadi kebiasaan dan tidak memerlukan hal yang baru.
Pembahasan ini bisa membantu kita memahami jika kita sebagai lulusan TP akan lebih memilih kategori adopter manakah untuk bisa membantu orang belajar. Dan inilah hasil jawaban teman-teman di dalam Forum DIP yang hasilnya saya tabulasikan dan disajikan dalam bentuk chart seperti ini :
TABULASI DATA KATEGORI ADOPTERS YANG DIPILIH
Data yang saya peroleh ini hasil diskusi dan tanggapan teman-teman di Forum DIP yang berlangsung pada tanggal 23 Maret 2012. Hasilnya pun yang menjawab ada 34 orang dari 42 orang ternyata tidak semua yang merespon.
Dari hasil tabel diatas, akan diperjelas dalam bentuk prosentasi di bawah berikut ini :
Disitu cukup jelas ya Lulusan TP sebagian besar memilih antara Early Adopter dan Early Majority yang prosentasinya sama 33%, yang diikuti oleh Innovator sebesar 26%, dan yang terakhir Late Majority hanya 9%.
Sudah pada paham nih pilihan alasan sebagai Lulusan TP akan sebagai jadi adopter apa tetapi kenapa nih bisa memilih Early Adopter, Early Majority, Innovator, bahkan Late Majority juga. Kenapa rasanya mereka memilih itu ya? Mari kita perdalami lagi alasan di Tabel berikut ini :
TABULASI ALASAN MEREKA MEMILIH ADOPTER TERSEBUT
Biar mantap dan oke lihatnya tengok lagi kebawah yuuk
Yang ingin menjadi Innovator adalah orang yang siap dan berani nih. Terbukti dari alasan yang mereka berikan ada yang mau merintis inovasinya (22%), mau meningkatkan kebutuhan pendidikan juga (11%), dan yang paling besar untuk bisa membuat Inovasi (67%) berarti Lulusan TP siap nih untuk berkreasi membuat Inovasi untuk membantu orang belajar.
Untuk Early Adopter, Lulusan TP juga bisa mencari informasi dulu nih dengan mencari kegunaan dengan mengadopsi inovasi tersebut (22%), dan mempelopori inovasinya (80%). Bisa dikatakan mereka mencari tahu dulu kegunaan inovasi itu bermanfaat atau tidaknya juga untuk memecahkan masalah belajarnya.
Cukup jelas bukan? Tetapi kenapa ya memilih Late Majority tidak ada alasan karena kita ingin tahu kenapa kita sebagai Lulusan TP memilih Late Majority, mungkin yang merespon lupa memberikan alasan detailnya..hehe begitu juga dengan alasan lain juga ada yang tidak dijelaskan lebih detail sebesar 76%. Wah mungkin sebagian teman-teman menyesuaikan saja arti maksud dengan kategori tersebut. Tetpi ada juga yang memilih Early Majority karena menyesuaikan kecepatannya menerima inovasi (24%).
HASIL SURVEY ini bisa kita simpulkan rata-rata mereka memilih Early Adopter dan Early Majority karena mungkin mereka masih harus bisa selektif dengan Inovasi yang terus bermunculan apakah inovasi tersebut bisa diterapkan untuk memecahkan masalah belajar menjadi efektif dan efisien. Tetapi tidak kalah juga mereka memilih Innovator selain membuat inovasi dan juga mengembangkan kreatifitas mereka dengan hasil ilmu pengetahuan yang kita dapatkan sebelumnnya.
Apapun pilihan teman-teman untuk menjadi adopter seperti apa pun, Kita sebagai TP juga harus bisa menciptakan dan membuat orang belajar yang efektif dan efisien agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan bisa tercapai. Itu baru namanya Prinsip Teknologi Pendidikan. Terima kasih
-Rizki Ariyanti-