RIROTZ
Hanya sekedar sharing-sharing

SEBUAH CERITA UNTUK BUKU TEKS PELAJARAN

23.05

“Buku adalah Jendela Dunia,

kalau tidak suka membaca buku otak kita akan beku”

 

            Kata mutiara ini selalu kita dengar dimana – dimana entah di buku bacaan, di sekolah, di perpustakaan, dll. Ketika kita sekolah pasti memiliki buku wajib sebagai acuan mata pelajaran tertentu. Buku Pelajaran biasanya berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di tempat tinggal kita. Dimulai dengan daftar isi untuk memperjelas bab – bab yang akan dibahas di buku, tidak lupa dengan memberikan ilustrasi gambar untuk memperjelas makna materi yang disampaikan serta daftar pustaka sebagai referensi dan menghindari copycat / plagiat.

            Kalau dipikir – pikir membuat buku pelajaran gampang – gampang susah, apalagi untuk membuat buku pelajaran di bidang tertentu harus dari ahli studinya? penulis yang profesionalkah? Atau harus Guru – guru yang menulis buku teks pelajaran? Berikut ini kami paparkan hasil wawancara dengan Guru mengenai pengalaman beliau dalam menulis buku pelajaran yang kini sudah banyak menulis di buku Sejarah, PKN, dan Sosiologi. Wah banyak sekali karya bukunya, apakah beliau orang yang sangat ahli dan pintar sehingga banyak menulis buku? Mari kita simak hasil wawancara kami dengan beliau.

            Drs. I Wayan Badrika. Msi, itulah nama penulis yang sudah menerbitkan banyak bukunya. Sekarang beliau masih aktif mengajar di SMA N 53 Jakarta Timur di bidang studi SEJARAH. Ketika kami menanyakan apa yang menjadi tertarik untuk membuat buku teks pelajaran, Pak Wayan malah mengatakan “Awalnya saya tidak pernah punya niat dan membayangkan untuk bisa menjadi penulis apalagi untuk buku teks pelajaran”. Wah Bapak Wayan bercanda nih mengatakan tidak pernah niat membuat buku pelajaran. “Awalnya saya hanya pernah membuat buku diktat yang sudah disesuaikan kurikulum oleh dosen saya” jelasnya. Buku diktat ini menjadi pegangan Pak Wayan untuk mempelajari ketika beliau masih kuliah.

            Pada tahun 1986, Pak Wayan menjadi Guru di sekolah negeri bilangan Jakarta. Pada saat itu, murid – murid di sekolahnya mengharuskan untuk membeli buku pelajaran di Jatinegara yang terbilang murah tetapi tidak juga ada yang membelinya. “Makannya saya bingung harga buku sebenarnya hanya Rp 7000,00 ditawar lagi ke Rp 4000,00 masih bisa kok”imbuhnya. Akhirnya Pak Wayan memutuskan untuk mengedit diktatnya sesuai dengan kurikulum saat itu sebanyak 50 halaman, lalu difotocopy dan diperbanyak di rayon Jakarta Timur per anak dikenakan biaya Rp 15.000,00. Pak Wayan tidak menyangka yang tadinya beliau harus memperbanyak sebanyak 450 jilid menjadi terus bertambah pesanannya menjadi 1800 jilid. “Kalau pesanannya banyak begini syukur tetapi itu semua masih saya lakukan sendiri – sendiri belum dibawa ke penerbit. Mau cetak, fotocopy, antarin buku, mengambil jatah duit semua serba sendiri”.

            Setelah proses 3 tahun lamanya (tahun 1987 - 1989), Pak Wayan membawa buku diktatnya untuk diterbitkan ke Penerbit Erlangga pada bulan Agustus tahun 1989. Ternyata Pak Wayan tidak segera dipanggil untuk dicetak dan harus sabar menunggu. Setahun kemudian pada tahun 1990, Pak Wayan baru mendapatkan panggilan dari Penerbit Erlangga bahwa bukunya segera dicetak. Dan tahun 1991 barulah bukunya resmi terbit dan dijual ke pasaran, “Memang dulu proses untuk bisa menerbitkan buku pelajaran membutuhkan waktu lama, dari proses editornya, penyuntingan naskah, dll. Itu memang yang saya tidak bayangkan akhirnya bisa menerbitkan buku pelajaran”curhatnya.

            Pak Wayan mengaku beliau bukan orang pintar dan profesional dalam menulis buku pelajaran. Tetapi kalau kita banyak baca, mencari sumber – sumber referensi, dan bisa menyusun kurikulum, membuat buku pelajaran tidak menjadi penghalang karena berpatokan dengan UU Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. “Jujur daya tangkap pemahaman saya tidak sebagus orang lain biasanya sekali atau dua kali langsung paham. Saya sampai 4 – 5 kali baru bisa paham, sekali baca belum mengerti, kedua kalinya masih belum mengerrti, ketiga kalinya sudah mulai sedikit mengerti, keempat-kelima kalinya sudah bisa paham materinya”akunya.

            Awal menyusun buku pelajaran dimulai dengan membaca kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah lalu diuraikan materinya baru kita bisa menulis Bab 1 Bab 2 Bab 3 dan seterusnya. Di dalam bab – bab tidak hanya misalkan Bab 1 habis tetapi biasanya ditambahin sub bab supaya tidak terlalu pusing membacanya dan gampang dimengerti. “Lalu ada yang lebih penting juga nih, dalam membuat buku kita harus memperhatikan kondisi pembaca bukunya”imbuhnya. Kalau sasaran untuk anak tingkat SD, panjang kalimat tidak boleh lebih dari 20 kata dan memperbanyak gambar pendukung. Untuk tingkat SMP bahasa juga diusahakan juga tidak terlalu rumit karena kawasan pengetahuan awal belum terlalu banyak tetapi kata-kata yang sulit bisa dimasukkan ke dalam Glosarium (arti jkata-kata sulit). Untuk tingkat SMA materinya dimulai dari kata – kata sederhana lalu ke kompleks guna untuk meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik. “Dulu saya sempat ingin menulis buku untuk tingkat anak SD, tetapi saya ragu apakah tulisan saya bisa dimengerti tidak oleh anak SD? Bahasanya ketinggian tidak? Lalu saya memutuskan untuk tidak meneruskan karena sebenarnya buku untuk sasaran SD sedikit sulit hehe”kata Pak Wayan.

            “Buku Pelajaran di bidang eksak jaman sekarang ini minim definisi ya?tanyanya, kalau kita mencoba tanya segitiga itu apa? Orang – orang juga menjawabnya segitiga dalam bentuk gambar, lalu kalau kita singgung apa definisi dari segitiga? Pasti masih kesulitan untuk menjelaskan lebih detailnya. Dahulu, beliau diajarkan oleh dosen – dosennya selalu menjelaskan dengan menggunakan definisi supaya pemahaman kita baik apa yang dimaksud dengan objek tadi jadi tidak hanya sekedar tahu saja.”Dosen saya kalau menjelaskan sesuatu tidak melulu di depan papan tulis, saat menjelaskan gelombang itu apa? maka beliau mengajak peserta didik untuk belajar diluar kelas. Kita melihat air di ember apakah terjadi gelombang? Lalu kita melihat gelombang di pantai apakah terlihat? Baru kita bisa mengerti definisi gelombang adalah bla bla..”jelasnya. Itu yang bisa menjadi acuan kita dalam membuat isi materi di buku pelajaran.

            Terakhir jangan lupa untuk mencantumkan daftar pustaka untuk menunjukkan sumber referensi kita karena pasti tidak semua tulisan kita orisinil. Semua materi pasti membutuhkan sumber – sumber yang sudah ada untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita. Nah dengan mencantumkan daftar pustaka dan sumber yang relevan itu berguna tidak terjadi penyalahgunaan yang bisa dianggap plagiat atau copycat. “Kadang dalam menulis buku kita suka terpengaruh kata orang – orang bahwa yang kita tulis, pembacanya sudah tahu banyak materinya terus kita jadi tidak melanjutkan menulis. Jangan seperti itu, terus fokuskan kita menulis buku pelajaran untuk mereka yang belum punya pengetahuan”imbuhnya. Karena tekad Pak Wayan dalam menulis buku pelajaran, kini beliau sudah banyak menerbitkan Buku Sejarah tingkat SMP dan SMA tahun 1997, Buku IPS Terpadu bersama penulis – penulis lainnya tahun 2005, terakhir Buku Sosiologi tahun 2012, dan sekarang sedang proses menulis Buku PKN. Untuk usia pakai buku pelajaran, Pak Wayan menuturkan “Buku pelajaran jika sudah 3 kali pencetakan terjual, maka yang keempat kalinya kita revisi lagi terus cetak dan terbit, dan 3 kali pencetakan revisi lagi dan seterusnya sambil mengikuti perkembangan kurikulum terbaru.” Pak Wayan berpesan pada kita jika ada keinginan untuk menjadi penulis buku pelajaran tidak harus ahli di bidang studi tidak masalah asalkan kita banyak – banyak membaca buku dan mencari sumber sudah bisa menulis buku pelajaran.

            Inilah hasil wawancara kami dengan Pak Wayan, Guru Sejarah yang berpengalaman dalam membuat buku teks pelajaran. Hal ini banyak informasi yang kita simpulkan dalam menyusun buku teks pelajaran dimulai dari mengumpulkan sumber-sumber bacaan buku, membaca kurikulum untuk kita uraikan dan menulis materi – materi. Setelah materi selesai ditulis baru kita susun bagian awal (Cover, judul, daftar isi, daftar lain), dilanjutkan ke bagian isi materi (bab – bab, sub bab, dan pokok bahasan), dan terakhir bagian akhir (Lampiran, Glosarium, Kepustakaan). Bahasa yang digunakan juga kita sesuaikan dengan kondisi pembaca, sebaiknya memberikan definisi dan penjelasan dengan kata – kata sederhana ke kompleks. Dan yang paling penting memfokuskan pikiran tujuan kita menulis buku teks pelajaran untuk mereka yang belum punya pengetahuan. Sekian~

 

By : Rizki Ariyanti, Melinawati, Suci Utari

Read On 0 komentar

LULUSAN TP MEMILIH KATEGORI ADOPTER...??

09.22
Diskusi difusi inovasi pendidikan masih berlanjut nih, topik kali ini mengenai lulusan TP nanti bisa termasuk kategori adopter manakah dan alasan kenapa bisa memilih adopter itu. Pertanyaan ini diberikan oleh Asisten Dosen mata kuliah ini Ibu Retno Widyaningrum mengenai hubungan innovativeness dengan kategori adopter. Seperti yang kita ketahui TP diciptakan untuk membantu orang belajar dan bisa memecahkan masalah belajar. Karena itu, perlunya inovasi yang baik untuk bisa memecahkan masalah dengan baik pula. Tujuan kita memahami pertanyaan masalah ini supaya nantinya kita bisa memahami lebih mendalam hubungan innovativeness dengan kategori adopter ini dan kita bisa mengetahui kita sebagai TP bisa menjadi calon adopter yang mana dan baik untuk bisa membantu orang belajar.

Yukk mari kita bahas lebih mendalam mengenai materi ini. Pembahasan ini akan saya sajikan bersama hasil chart-chart dari responden yang berasal dari kelas Non Reguler dalam menjawab pertanyaan yang diberikan Ibu Retno ini. Tapi sebelumnya akan lebih baik kita sedikit menjelaskan apa yang dimaksud dengan Innovativeness dan Tingkatan Adopternya.

          Innovativeness adalah individu atau kelompok yang cepat menerima inovasi yang datang dibanding masyarakat lain yang kurang menerima perubahan-perubahan, mereka yang cepat menerima inovasi berpikir inovasi ini pasti bisa memberikan keuntungan dan untuk perubahan yang lebih baik. Sedangkan adopter adalah sekelompok pemakai dan penerima inovasi tersebut. Jadi jelas innovativeness berhubungan dengan kategori adopter karena kita bisa mengelompokkan para adopter yang menerima inovasi tersebut sesuai dengan tingkat kecepatan mereka menerima inovasi ini. Karena bermacam-macamnya tingkatan penerimaan inovasi dikategorikan seperti yang dijelaskan dibawah ini :

1. Innovator, individu atau kelompok ini bisa dibilang sebagai perintis dan siap menjadi yang pertama menggunakan inovasi yang baru. Prosentase kategori ini sangat sedikit 2,5% karena sedikitnya orang-orang yang pro terhadap inovasi yang berdatangan.
2. Early Adopter, kategori ini bisa dibilang pemakai awal tetapi mereka masih mencari informasi terlebih dahulu mengenai inovasi yang diterima sebelum menggunakannya. 
3.  Early Majority, sesuai namanya mayoritas awal artinya mereka menunggu dan melihat early majority sebagai pengguna awal inovasi apakah baik atau buruk. Kategori ini tidak mau terlalu cepat mengambil keputusan sebelum menggunakannya jika inovasi ini layak digunakan barulah mereka berani mencoba.
4. Late Majority, Kategori ini sangat hati-hati mengenai fungsinya dari inovasi tersebut, mereka memlih jadi mayoritas akhir dan menunggu hasil dari kelompok-kelompok lain bahwa inovasi ini benar-benar bermanfaat.
5. Laggard, kelompok ini yang menjadi paling akhir dalam mengadopsi inovasi karena bersifat tradisional dan segan mencoba hal-hal yang baru karena mereka pikir ini sudah jadi kebiasaan dan tidak memerlukan hal yang baru.

Pembahasan ini bisa membantu kita memahami jika kita sebagai lulusan TP akan lebih memilih kategori adopter manakah untuk bisa membantu orang belajar. Dan inilah hasil jawaban teman-teman di dalam Forum DIP yang hasilnya saya tabulasikan dan disajikan dalam bentuk chart seperti ini :

TABULASI DATA KATEGORI ADOPTERS YANG DIPILIH
Data yang saya peroleh ini hasil diskusi dan tanggapan teman-teman di Forum DIP yang berlangsung pada tanggal 23 Maret 2012. Hasilnya pun yang menjawab ada 34 orang dari 42 orang ternyata tidak semua yang merespon.

 
Dari hasil tabel diatas, akan diperjelas dalam bentuk prosentasi di bawah berikut ini :

 
Disitu cukup jelas ya Lulusan TP sebagian besar memilih antara Early Adopter dan Early Majority yang prosentasinya sama 33%, yang diikuti oleh Innovator sebesar 26%, dan yang terakhir Late Majority hanya 9%.
Sudah pada paham nih pilihan alasan sebagai Lulusan TP akan sebagai jadi adopter apa tetapi kenapa nih bisa memilih Early Adopter, Early Majority, Innovator, bahkan Late Majority juga. Kenapa rasanya mereka memilih itu ya? Mari kita perdalami lagi alasan di Tabel berikut ini :
 
TABULASI ALASAN MEREKA MEMILIH ADOPTER TERSEBUT

 
Biar mantap dan oke lihatnya tengok lagi kebawah yuuk

 
Yang ingin menjadi Innovator adalah orang yang siap dan berani nih. Terbukti dari alasan yang mereka berikan ada yang mau merintis inovasinya (22%), mau meningkatkan kebutuhan pendidikan juga (11%), dan yang paling besar untuk bisa membuat Inovasi (67%) berarti Lulusan TP siap nih untuk berkreasi membuat Inovasi untuk membantu orang belajar.

Untuk Early Adopter, Lulusan TP juga bisa mencari informasi dulu nih dengan mencari kegunaan dengan mengadopsi inovasi tersebut (22%), dan mempelopori inovasinya (80%). Bisa dikatakan mereka mencari tahu dulu kegunaan inovasi itu bermanfaat atau tidaknya juga untuk memecahkan masalah belajarnya.


Cukup jelas bukan? Tetapi kenapa ya memilih Late Majority tidak ada alasan karena kita ingin tahu kenapa kita sebagai Lulusan TP memilih Late Majority, mungkin yang merespon lupa memberikan alasan detailnya..hehe begitu juga dengan alasan lain juga ada yang tidak dijelaskan lebih detail sebesar 76%. Wah mungkin sebagian teman-teman menyesuaikan saja arti maksud dengan kategori tersebut. Tetpi ada juga yang memilih Early Majority karena menyesuaikan kecepatannya menerima inovasi (24%).

HASIL SURVEY ini bisa kita simpulkan rata-rata mereka memilih Early Adopter dan Early Majority karena mungkin mereka masih harus bisa selektif dengan Inovasi yang terus bermunculan apakah inovasi tersebut bisa diterapkan untuk memecahkan masalah belajar menjadi efektif dan efisien. Tetapi tidak kalah juga mereka memilih Innovator selain membuat inovasi dan juga mengembangkan kreatifitas mereka dengan hasil ilmu pengetahuan yang kita dapatkan sebelumnnya.

Apapun pilihan teman-teman untuk menjadi adopter seperti apa pun, Kita sebagai TP juga harus bisa menciptakan dan membuat orang belajar yang efektif dan efisien agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan bisa tercapai. Itu baru namanya Prinsip Teknologi Pendidikan. Terima kasih

-Rizki Ariyanti-
Read On 0 komentar

Forum DIP Inovasikah??

13.52
Mengapa diadakan survey?

Perkembangan teknologi dan informasi yang cepat dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan, merupakan suatu upaya untuk menjembatani masa sekarang dan masa yang akan datang dengan jalan memperkenalkan pembaharuan – pembaharuan yang cenderung  mengejar efisiensi dan efektivitas.”
            Kalimat itu menjadi pembuka materi perkuliahan Difusi Inovasi Pendidikan yang diampu oleh Prof. Dr. BP Sitepu dengan asistennya Ibu Retno Widyaningrum. Kita diajak untuk mengenal pengertian inovasi dari pendapat Rogers dan Reigeluth. Di dalam konsep TP (Teknologi Pendidikan) dikatakan kita menciptakan belajar menyenangkan dan beraneka sumber. Oleh karena itu, Pak Prof Tepu mengajak kita untuk berdiskusi melalui forum DIP NR 2010 di Facebook. Ya, bagi kita tidak asing berdiskusi materi melalui internet tetapi ini baru pertama kali looh diskusi menggunakan via Facebook dan digagas oleh seorang Pak Prof Tepu. Oke kembali lagi ke permasalahannya, Pak Prof atau Ibu Retno memberikan pertanyaan dan kita yang menjawab sehingga timbullah pertanyaan penggunaan social network Facebook sebagai media diskusi materi termasuk inovasi atau tidak. Hhmm pasti termasuk inovasi ya? Beragam jawaban dari teman-teman itu termasuk INOVASI. Apa sih inovasi? Apa sudah paham inovasi seperti apa? Nah itu menjadi pertanyaan yang diberikan Pak prof utnuk mentabulasikan data-data hasil jawaban teman-teman untuk disajikan dalam bentuk tabel, diagram batang, diagram bulat 3D yang canggih dan kreatif. Yowes kita sebagai anak TP harus bisa menyajikan data-data yang KREATIF tetapi bisa dimengerti oleh audience J. Jadi ada dua pertanyaan tuh yang diminta antara lain ?
  • Apakah Forum Group Discussion IDP ini termasuk inovasi dalam mata kuliah ini?". Kalau Anda jawab "YES", atau "NO" atau "YES & NO", berikan alasan yang mengacu pada teori Rogers & Reigeluth?
  • Membuat tabulasi data 1) berapa yang menjawab serta yang tidak menjawab, 2) berapa yang menjawab YES, NO, YES dan NO, 3) kategorisasi/klasifikasi alasan pilihan mahasiswa serta hitung frekwensinya. Misalnya yg memilih "YES", apa saja alasan & hitung yang alasan yang sama dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram batang, diagram bulat tiga dimensi.
Tujuan mengadakan survey ini supaya kita tahu siapa saja yang YES, NO, YES & NO dan manfaatnya kita juga pasti tahu dan mengerti dari jawaban-jawaban yang berbeda inovasinya karena sesuatu alasan kenapa. Teknik pengambilan data survey ini di dalam kelas NR yang tergabung dalam member forum FB “DIP NR 2010” kecuali dosen yang memberikan pertanyaan tersebut.

HASIL DATA SURVEY


1. Pada chart ini digambarkan ada yang merespon  sebanyak 28 orang ada pula juga yang diam sebanyak 10 orang (saat itu belum respon pertanyaannya begitu)


2. Nah ini hasil penghitungan yang menjawab YES, NO, YES & NO seperti digambar atas ini nih. Bentuk diagram lainnya dibawah nih ya  biar jelas


Wah rata-rata kebanyakan menjawab YES yang berjumlah 2 orang, YES & NO ada juga 2 orang, dan NO no tambah L jadi nol. Sudah ada yang paham maksud inovasi ya
3. Dari yang merespon dan menjawab YES dan YES & NO kenapa ya alasannya..yuk mari tengok kebawah lagi..
1.

Hasil tabel disamping, saya kategorisasikan alasan yang mengarah karena belajar menyenangkan ada 14 orang, social network 19 orang, dan karena baru 14 orang. Lumayan banyak juga ya alasannya seperti persentasi berikut ini


Nah cukup jelas kan yang mengatakan karena pemanfaatan social network sebanyak 40%, karena bisa menjadi belajar menyenangkan 30%, dan group dianggap baru juga 30%






Kenapa bisa seperti itu hasil surveynya??
 
Dari hasil yang survey diatas, jelas mayoritas menjawab pemanfaatan grup diskusi DIP menjadi sarana inovasi untuk belajar yang lebih baik. Karena apa? Yang selama ini kita kuliah hanya bertatap muka dengan dosen kini bisa tetap berdiskusi melalui group diskusi ini tanpa meninggalkan perkuliahan tatap muka. Demikian juga kita menggunakan Facebook hanya untuk sarana komunikasi dan share photo, kita juga bisa bermain sambil belajar di facebook itu yang menurut mereka mengatakan bisa disebut inovasi karena suatu ide, gagasan yang dianggap baru dari terdahulunya kita belajar melalui online learning sebut saja web bali, ilmupendidikan,net, tpers.net, dll.
Sebagian ada juga yang mengatakan YES dan NO karena kata mereka bisa YES karena baru kali dalam perkuliahan dosen mengadakan group diskusi yang sudah disediakan group oleh Facebook, maka oleh mereka dirasa baru dan bisa disebut inovasi tetapi engacu pada teori Reigeluth pernah mengatakan syarat inovasi harus terencana dan sistematis yang perlu dilakukan benar-benar mendalam dan kontinyu karena banyak proses seperti analisis, desain, pengembangan, implementasi yang nyata, dan evaluasi. Dengan proses itu supaya inovasi tersebut dapat terus berjalan dan berkelanjutan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Dan menurut komentar saudara Fathia Fairuza mengatakan group ini dibuat karena memang kebetulan jejaring sosial Facebook menyediakan fasilitas ini dan memang dapat dimanfaatkan oleh semua orang yang ada di jejaring sosial ini tanpa batas jadi tidak dianggap sebagai inovasi.

Kesimpulannya..

Dari hasil survey dan pembahasan dapat menyimpulkan hampir semua mahasiswa paham dengan makna inovasi yang sebenarnya walaupun tidak semua belum merespon pertanyaan ini.
  • Media group Facebook ini digagas oleh dosen untuk saling berkomunikasi dan diskusi materi diluar kelas, karena dosen mengetahui bahwa Facebook sedang digandrungin oleh masyarakat luas terutama mahasiswa. Oleh karena itu dibuatlah group yang sudah disediakan oleh tim Facebook menjadi group diskusi DIP.
  • Manfaat sudah dirasakan oleh orang banyak selain mudah digunakan juga menciptakan belajar menyenangkan sehingga membuat mahasiswa enjoy belajar kapan saja, mencari di berbagai sumber. Seperti yang diungkapkan oleh E. Rogers (1993) mengenai karakteristik inovasi semakin besar keuntungan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi, sesuai kan dengan media Facebook yang digunakan? Hehehe
Saran yang bisa diambil

Di awal diskusi materi dilakukan kalau bisa dosen menginfokan sumber bacaan buku yang bisa kami dapatkan supaya kami mempunyai kesiapan dalam menjawab pertanyaan. Karena tidak ketersediaan buku, hampir semua memsearching di mbah google yang terkadang materinya tidak relevan dengan kita cari dan menghindari terjadinya kopasus juga.
Semoga dengan saran ini diskusinya bisa berjalan dengan efektif dan efisien.

SALAM TPERS UNJ

Sumber :
Rogers, E. M. (1983). Diffusion of Innovation. New york : the free press
google.com
www.facebook.com  
Read On 0 komentar

Mengenai Saya

Followers

Komentar ya!

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Copyright © 2010- Rizki Ariyanti
Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net