RIROTZ
Hanya sekedar sharing-sharing

E-learning

Label:
A.PENDAHULUAN
Seiring perkembangan teknologi internet, model e-learning mulai dikembangkan, sehingga kajian dan penelitian sangat diperlukan. Hakekat e-learning adalah bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan dalam format digital melalui teknologi internet. Sistem ini dapat digunakan dalam pendidikan jarak jauh atau pendidikan konvensional. Oleh karena itu mengembangkan model ini tidak sekedar menyajikan materi pelajaran ke dalam internet tetapi perlu dipertimbangkan secara logis dan memegang prinsip pembelajaran. Begitu pula desain pengembangan yang sederhana, personal, dan cepat, serta unsur hiburan akan menjadikan peserta didik betah belajar di depan internet seolah-seolah mereka belajar di dalam kelas. Ilmu dan teknologi terutama teknologi informasi berkembang sangat pesat. Pesatnya perkembangan teknologi ini berdampak pada perbagai perubahan sosial budaya. Misalnya e-commerce merupakan perubahan radikal dalam aspek ekonomi masyarakat modern saat ini. Di sektor pemerintahan ada e-government. Demikian pula di sektor pendidikan sudah berkembang apa yang disebut e-learning. Pemanfaatan teknologi internet untuk pendidikan dipelopori oleh sekolah militer di Amerika Serikat (1983). Sejak itu tren teknologi internet untuk pendidikan berkembang pesat dan lebih dari 100 perguruan tinggi di Amerika Serikat telah memanfaatkannya. Begitu pula teknologi ini berkembang pesat di negara-negara lain. Hasil survai yang dilakukan James W. Michaels dan Dirk Smilie (dalam Andito M. Kodijat, 2002) saat ini provider di dunia ada sekitar 25% pendidikan tinggi yang menawarkan programnya melalui internet. Visi dari sekolah (universitas) ini adalah untuk mencapai dan memberikan layanan pada pasar tanpa dibatasi atau perlu memperluas fasilitas fisiknya. Di Indonesia pemanfaatan teknologi internet dimulai sekitar tahun 1995 ketika IndoInternet membuka jasa layanan internet. Kemudian tahun 1997-an mulai berkembang pesat. Namun harus diakui bahwa kini pemanfaatan teknologi ini masih didominasi oleh lembaga seperti perbankan, perdagangan, media massa, atau kalangan industri. Jika melihat potensinya, dalam waktu mendatang mungkin saja lembaga pendidikan akan mendominasinya. Pemanfatan teknologi internet untuk pendidikan di Indonesia secara resmi dimulai sejak dibentuknya telematika tahun 1996). Masih ditahun yang sama dibentuk Asian Internet Interconnections Initiatives (www.ai3.itb.ac.id/indonesia). Jaringan yang dikoordinir oleh ITB ini bertujuan untuk pengenalan dan pengembangan teknologi internet untuk pendidikan dan riset, pengembangan backbone internet pendidikan dan riset di kawasan Asia Pasific bersama-sama perguruan tinggi di kawasan ASEAN dan Jepang, serta pengembangan informasi internet yang meliputi aspek ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, sosial, dan ekonomi. Hingga kini sudah ada 21 lembaga pendidikan tinggi (negeri dan swasta), lembaga riset nasional, serta instnasi terkait yang telah bergabung. Seiring perkembangan zaman, pemanfaatan internet untuk pendidikan di Indonesia khususnya di perguruan tinggi terus berkembang. Misalnya tahun 2001 didirikan universitas maya Indonesia Bangkit University Teledukasi (IBUTeledukasi) bekerjasama dengan Universitas Tun Abdul Razak Malaysia, beberapa PT juga menawarkan program on-line course misalnya (www.petra.ac.id). Universitas Terbuka mengembangkan on-line tutorial (www.ut.ac.id/indonesia/tutorial.htm), Indonesia Digital Library Network mengembangkan perpustakaan elektronik (www.idln.itb.ac.id) , dan lain-lain. Pemanafaatan internet untuk pendidikan ini tidak hanya untuk pendidikan jarak jauh, akan tetapi juga dikembangkan dalam sistem pendidikan konvensional. Kini sudah banyak lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi yang sudah mulai merintis dan mengembangkan model pembelajaran berbasis internet dalam mendukung sistem pendidikan konvensional. Namun suatu inovasi selalu saja menimbulkan pro dan kontra. Yang pro dengan berbagai dalih meyakinkan akan manfaat kecanggihan teknologi ini seperti, memudahkan komunikasi, sumberinformasi dunia, memudahkan kerjasama, hiburan, berbelanja, dan kemudahan aktivitas lainnya. Sebaliknya yang kontra menunjukan sisi negatifnya, antara lain biaya relatif besar dan mudahnya pengaruh budaya asing. Internet sebagai media baru ini juga belum begitu familier dengan masyarakat, termasuk personil lembaga pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu terus dilakukan kajian, penelitian, dan pengembangan model e-learning.

B. E- LEARNINING
Banyak para ahli yang mendefinisikan e-learning sesuai sudut pandangnya. Karena e-learning kepanjangan dari elektronik learning ada yang menafsirkan elearning sebagai bentuk pembelajaran yang memanfaatkan teknologi elektronik (radio, televisi, film, komputer, internet, dll). Jaya Kumar C. Koran (2002), mendefinisikan e-learning sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan. Ada pula yang menafsirkan e-learning sebagai bentuk pendidikan jarak jauh yang dilakukan melalui media internet. Sedangkan Dong (dalam Kamarga, 2002) mendefinisikan e-learning sebagai kegiatan belajar asynchronous melalui perangkat elektronik komputer yang memperoleh bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya.
Rosenberg (2001) menekankan bahwa e-learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Hal ini senada dengan Cambell (2002), Kamarga (2002) yang intinya menekankan penggunaan internet dalam pendidikan sebagai hakekat e-learning. Bahkan Onno W. Purbo (2002) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet. Secara lebih rinci Rosenberg (2001) mengkatagorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam e-learning, yaitu:
*   e-learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Persyaratan ini sangatlah penting dalam e-learning, sehingga Rosenberg menyebutnya sebagai persyaratan absolut.
*  e-learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan standar teknologi internet. CD ROM, Web TV, Web Cell Phones, pagers, dan alat bantu digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan pembelajaran tetapi tidak bisa dikolongkan sebagai elearning.
* e-learning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran yang menggungguli paradikma tradisional dalam pelatihan. Uraian di atas menunjukan bahwa sebagai dasar dari e-learning adalah pemanfaatan teknologi internet. Jadi e-learning merupakan bentuk pembelajaran konvensional yang dituangkan dalam format digital melalui teknologi internet.

Keuntungan menggunakan e-learning diantaranya :
• menghemat waktu proses belajar mengajar,
• mengurangi biaya perjalanan,
• menghemat biaya pendidikan secara keseluruhan (infrastruktur, peralatan, buku),
• menjangkau wilayah geografis yang lebih luas,
• melatih pelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu e-learning dapat digunakan dalam sistem pendidikan jarak jauh dan juga sistem pendidikan konvensional. Dalam pendidikan konvensional fungsi e-learning bukan untuk mengganti, melainkan memperkuat model pembelajaran konvensional. Dalam hal ini Cisco (2001) menjelaskan filosofis e-learning sebagai berikut:
A. e-learning merupakan penyampian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line.
B.  e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi.
C.  E-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan.
D. Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar conten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.

C. PERTIMBANGAN E-LEARNING
Pertimbangan memutuskan sistem pendidikan konvensional menjadi sistem e-learning tentu saja bukan didasarkan pada trend, ikut-ikutan teknologi internet, tetapi perlu dikaji secara matang. Oleh karena itu para penyusun dan pengambil kebijakan perlu melakukan observasi dan studi kelayakan. Beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan antara lain:
(1) Anggaran biaya Yang diperlukan. Bandingkan biaya untuk pendidikan konvensional dengan e-learning. Melalui e-learning, biaya mendirikan bangunan sekolah, buku - buku, tenaga pengajar, dan biaya operasional peserta didik dapat ditekan. Oleh karena itu pendidikan jarak jauh atau sistem konvensional yang massal akan lebih efisien dengan e-learning.
(2) Materi apa saja yang menjadi prioritas dimasukan pada model e-learning sesuai  dengan karakteristik dan kebutuhan, atau semua materi pelajaran perlu dimasukan.
(3) Pengalihan dari konvensinal ke e-learning apakah bisa dilakukan sendiri atau perlu kerjasama dengan instansi lain. Instansi seperti perguruan tinggi (yang memiliki SDM relevan) dan kalangan industri (terutama industri perangkat lunak) sangat potensial dijadikan mitra kerjasama.
(4) Apakah perubahan ini bisa diterima (diadopsi) dengan baik oleh sasaran.
Sebagai hasil inovasi, proses difusi sangat diperlukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oos M. Anwas (2003) menunjukan bahwa adopsi inovasi e-learning dalam tahapan pembentukan sikap di kalangan akademisi masih bervariasi. Banyak faktor yang menentukan, diantaranya exposure informasi internet, kedekatan dengan teknologi komunikasi dan informasi, dan derajat kebutuhan terhadap internet. Namun yang menarik dari penelitian ini adalah faktor kondusivitas organisasi dapat mempengaruhinya. Dalam organisasi yang kondusif, akademisi cenderung lebih baik dalam mengadopsi e-learning dibandingkan dengan organisasi yang kurang kondusif. Faktor organisasi yang relatif homogen seperti perguruan tinggi ini lebih penting dibandingkan dengan mempermasalahkan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, klas ekonomi, dan faktor personality (type kepribadian). Padahal dalam penelitian adopsi inovasi sebelumnya, factor demografi dan personality tersebut sering dijadikan penjelas dan mempengaruhi individu dalam mengadopsi suatu inovasi. (5). Bagaimana menerapkan perubahan tersebut sehingga bisa tercapai secara efektif dan efisien, serta bagaimana kelanjutan operasional termasuk evaluasi dan tindaklanjutnya.


D. PENGEMBANGAN MODEL
Pengembangan model e-learning perlu dirancang secara cermat sesuai tujuan yang diinginkan. Jika kita setuju bahwa e-learning di dalamnya juga termasuk pembelajaran berbasis internet, maka pendapat Haughey (1998) perlu dipertimbangkan dalam pengembangan e-learning. Menurutnya ada tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet, yaitu “web course, web centric course, dan web enhanced course”.
Web course adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui internet. Dengan kata lain model ini menggunakan sistem jarak jauh. Web centric course adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar jarak jauh dan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampikan melalui internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Fungsinya saling melengkapi. Dalam model ini pengajar bisa memberikan petunjuk pada siswa untuk mempelajari materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Siswa juga diberikan arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang relevan. Dalam tatap muka, peserta didik dan pengajar lebih banyak diskusi tentang temuan materi yang telah dipelajari melalui internet tersebut. Web enhanced course adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan pengayaan dan komunikasi antara peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik, anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu peran pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet, membimbing mahasiswa mencari dan menemukan situs-situs yang relevan dengan bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati, melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet, dan kecakapan lain yang diperlukan. Pengembangan e-learning tidak semata-mata hanya menyajikan meteri pelajaran secara on-line saja, namun harus komunikatif dan menarik. Materi pelajaran didesain seolah peserta didik belajar dihadapan pengajar melalui layar komputer yang dihubungkan melalui jaringan internet. Untuk dapat menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati, Onno W. Purbo (2002) mensyaratkan tiga hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu “sederhana, personal, dan cepat”. Sistem yang sederhana akan memudahkan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada , dengan kemudahan pada panel yang disediakan, akan mengurangi pengenalan sistem elearning itu sendiri, sehingga waktu belajar peserta dapat diefisienkan untuk proses belajar itu sendiri dan bukan pada belajar menggunakan sistem e-learningnya. Syarat personal berarti pengajar dapat berinteraksi dengan baik seperti layaknya seorang guru yang berkomunikasi dengan murid di depan kelas. Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, peserta didik diperhatikan kemajuannya, serta dibantu segala persoalan yang dihadapinya. Hal ini akan membuat peserta didik betah berlama-lama di depan layar komputernya. Kemudian layanan ini ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat terhadap keluhan dan kebutuhan peserta didik lainnya. Dengan demikian perbaikan pembelajaran dapat dilakukan secepat mungkin oleh pengajar atau pengelola. Untuk meningkatkan daya tarik belajar, Onno W. Purbo menambahkan perlunya menggunakan teori games. Teori ini dikemukakan setelah diadakan sebuah pengamatan terhadap perilaku para penggemar games komputer yang berkembang sangat pesat. Bermain games komputer sangatlah mengasyikan. Para pemain akan dibuat hanyut dengan karakter yang dimainkannya lewat komputer tersebut. Bahkan mampu duduk berjam-jam dan memainkan permainan tersebut dengan senang hati. Fenomena ini sangat menarik dalam mendesain e-learning. Dengan membuat sistem e-learning yang mampu menghanyutkan peserta didik untuk mengikuti setiap langkah belajar di dalamnya seperti layaknya ketika bermain sebuah games. Penerapan teori games dalam merancang materi e-learning perlu dipertimbangkan karena pada dasarnya setiap manusia menyukai permainan. Secara ringkas, e-learning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam sistem digital melalui internet. Oleh karena itu e-leraning perlu mengadaptasi unsur-unsur yang biasa dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional. Misalnya dimulai dari perumusan tujuan yang operasional dan dapat diukur, ada apersepsi atau pre test, membangkitkan motivasi, menggunakan bahasa yang komunikatif, uraian materi yang jelas, contoh-contoh kongkrit, problem solving, tanya jawab, diskusi, post test, sampai penugasan dan kegiatan tindak lanjutnya. Oleh karena itu merancang e-laarning perlu melibatkan pihak terkait, antara lain: pengajar, ahli materi, ahli komunikasi, programmer, seniman,dll.

E. PENERAPAN E-LEARNING DI INDONESIA
Di Era Globalisasi ini Internet merupakan media yang sangat cepat dalam perkembangannya. Semua Informasi tersedia di Internet dan dapat diakses oleh siapa saja dengan mudah, fleksibel ,cepat dan akurat. Hal inilah yang melandasi adanya ide untuk memanfaatkan Internet sebagai media pembelajaran dalam rangka memajukan pendidikan di Indonesia.
Istilah E–Learning merupakan gabungan dari dua kata yaitu E yang merupakan singkatan dari Electronic (Elektronik) dan Learning (Belajar). Jadi E–Learning adalah Belajar dengan menggunakan bantuan alat Elektronik. Lebih jelasnya E-Learning adalah suatu proses belajar mengajar antara pengajar dengan muridnya tanpa harus bertatap muka satu sama lain. Hal itu dikarenakan bantuan alat elektronik (tepatnya PC) yang terkoneksi dengan Internet sehingga siswa dapat belajar di manapun dan kapanpun tanpa harus datang ke kampus atau ke sekolah.
Saat ini penerapan E-Learning di Indonesia kurang bagus. Hal itu karena besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pengaplikasian E-Learning. Tidak semua perguruan tinggi menggunakan E-Learning dalam proses pembelajarannnya. Hanya perguruan tinggi yang besar saja (mampu dalam hal keuangan) yang mengaplikasikan E-Learning dalam penyampaian bahan ajarnya, itupun tidak semua perguruan tinggi mengaplikasikannya.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang mengaplikasikan E-Learning diantaranya adalah UNP (Universitas Negeri Padang), UGM (Universitas Gadjah Mada) dan ITB (Institut Teknologi Bogor). Dari ketiga perguruan tinggi diatas telah diketahui bahwa ketiga perguruan tinggi tersebut memiliki dana yang cukup untuk membangun jaringan E-Learning sehingga bisa mengaplikasikan E-Learning dalam proses pembelajarannya.
Antusias pelajar / mahasiswa terhadap penerapan E-Learning dalam proses pembelajaran merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan aplikasi E-Learning di Indonesia. Hal itu juga dilandasi oleh beberapa faktor, diantaranya banyak pelajar yang tidak mau tahu dengan perkenbangan Internet saai ini, mahalnya biaya penggunaan Internet bagi ukuran kantong pelajar, dan masih banyak faktor lain yang melandasinya.
Penerapan E-Learning di Indonesia akan berjalan dengan baik jika faktor yang menghambatnya dapat teratasi. Dari pihak universitas harus berusaha bagaimana caranya dapat membangun jaringan E-Learning dan menarik minat mahasiswa untuk menggunakannya dengan cara menyediakan fasilitas untuk penggunaan E-Learning. Dari pihak mahasiswa sendiri harus lebih berfikir lagi untuk tidak menggunakan E-Learning karena hal itu akan sangat merugikan diri sendiri.


Pengembangan E-Learning untuk Tutorial
Pengembangan e-learning untuk keperluan tutorial di UT dilakukan untuk mengikuti perkembangan teknologi yang begitu cepat. Terkadang suatu proses belum selesai dilakukan seluruhnya, muncul bentuk teknologi baru sehingga proses pengembangan yang sudah dirancang harus dimodifikasi sesuai dengan perkembangan teknologi. Tahapan pengembangan e-learning di UT dibedakan menjadi tahap pengembangan tingkat universitas dan tahap pengembangan tingkat fakultas.

1.
Tahapan Pengembangan Universitas
Tutorial elektronik (tutel) di UT merupakan bentuk tutorial yang menggunakan komputer sebagai media interaksi antara pengajar dan mahasiswa. Tutel merupakan istilah yang digunakan UT dan merupakan penerapan e-learning untuk kepentingan tutorial. Tutel ditawarkan pertama kali kepada mahasiswa pada tahun 1999. Tahap pengembangan dilakukan sebelumnya oleh Pusat Penelitian Media (P2M) UT sejak tahun 1995. Tahap pengembangan ini merupakan tahap pengembangan pada tingkat universitas. Tahap pengembangan pada tingkat universitas dilakukan untuk mengintegrasikan pengembangan sistem e-learning dengan sistem yang telah ada sebelumnya. Tahap ini dibedakan dengan tahap pengembangan pada tingkat fakultas yang lebih merupakan tahap ke arah implementasi dari pengembangan e-learning tingkat universitas atau penerapan dari e-learning. Tahap pengembangan tingkat universitas terdiri dari:
Tahap pengembangan infrastruktur maupun sistem. Tahap pengembangan infrastruktur dilakukan secara bertahap yaitu pengembangan infrastruktur di UT Pusat dan di UPBJJ. Selain itu, survei dilakukan oleh tim peneliti UT pada tahun 1999 untuk mengetahui ketersediaan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia bagi kepentingan mahasiswa (Anggoro dkk, 2001).
Tahap pemilihan program aplikasi. Pada tahap ini, pengembangan mengalami beberapa kali perubahan. Hal tersebut terjadi karena perkembangan teknologi yang pesat. Sebagai contoh, pada awal pengembangan teknis, UT memanfaatkan aplikasi internet yang bemama mailing-list. Dengan munculnya aplikasi Internet yang bemama WebCT, maka UT mencoba untuk mempelajari aplikasi tersebut dan sempat menerapkan WebCT pada skala kecil. Pengembangan WebCT tidak dilanjutkan karena munculnya aplikasi internet yang lebih baik yaitu Manhattan Virtual Classroom. Pengalaman ini menunjukkan bagaimana perubahan teknologi yang begitu pesat mempengaruhi perubahan pemilihan aplikasi Internet yang akan diterapkan di UT.
Tahap pengembangan kemampuan tenaga dosen atau staf akademik. Pada tahap ini diadakan sosialisasi pengenalan konsep serta sistem tutorial elektronik terlebih dulu, kemudian diadakan pelatihan-pelatihan yang sifatnya tidak hanya untuk memberi kemampuan teknis staf tapi juga untuk mengubah persepsi staf akademik terhadap peran mereka sebagai dosen atau tutor dalam e-leaming.
Pelatihan teknis terhadap dosen atau staf akademik dilakukan secara bertahap, sehingga semua staf mendapat pelatihan baik penggunaan komputer maupun cara melakukan interaksi dengan mahasiswa melalui e-mail. Tahap pelatihan terhadap dosen mulai berlangsung pada tahun 1999 dengan jumlah tutor sebanyak 98 orang untuk 40 matakuliah (Anggoro dkk, 2001). Setiap mata kuliah dapat diasuh oleh satu atau sekelompok tutor (1-6 orang). Sampai saat ini jumlah matakuliah yang ditawarkan untuk tutorial elektronik adalah sebanyak 171 mata kuliah.
Tahap pengembangan yang mungkin paling sulit dilakukan dan hasilnya sulit diidentifikasi adalah tahap mengubah persepsi stafakademik terhadap perubahan peran mereka sebagai tutor yang sebelumnya memberikan tutorial melalui tatap muka menjadi tutorial melalui medium elektronik. Perubahan peran tersebut bukanlah hal yang mudah diadopsi. Sebagai contoh, sejak disosialisasikan kepada staf akademik yang berfungsi pula sebagai tutor, penerapan tutorial elektronik masih tetap dikelola di tingkat universitas. Seharusnya tutor aktif dalam proses tutorial elektronik ini. Pada kenyataannya kondisi tersebut belum dapat berjalan.
2.
Tahapan Pengembangan Fakultas
Dari empat fakultas (FEKON, FKIP, FISIP, FMIPA) yang ada di UT, FISIP mencoba untuk mengembangkan tutorial elektronik di tingkat fakultas. Tahap pengembangan di tingkat fakultas lebih bersifat implementasi dari pengembangan yang telah dilakukan di tingkat universitas. Karena bersifat implementatif, maka pengembangannya dilakukan dalam bentuk action research yaitu melakukan pengembangan sekaligus penerapan dan evaluasi untuk pengembangan penerapan selanjutnya.
Untuk mencapai hal tersebut, dilakukan langkah-langkah pengembangan sebagai berikut.
1)
Pemilihan mata kuliah.
Dari empat fakultas (FEKON, FISIP, FKIP, FMIPA) yang ada di UT, saat ini FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) mencoba untuk mengembangkan tutorial elektronik. Matakuliah yang akan ditutorkan dipilih dengan kriteria sebagai berikut:
Dianggap sulit oleh mahasiswa. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kelulusan yang rendah dan berdasarkan banyaknya permintaan tutorial oleh mahasiswa (menunjukkan minat mahasiswa).
Menuntut keterampilan baru. Keterampilan tersebut berupa keterampilan mahasiswa untuk mengungkapkan ide atau pemikiran ke dalam bentuk tertulis atau uraian. Mayoritas evaluasi hasil belajar di UT menggunakan bentuk “multiple choice” (tes objektif).
Belum dikembangkan di tingkat universitas.
Antisipasi jumlah peserta dengan kemampuan tutuor. Uji coba tutel di tingkat fakultas ini merupakan keterampilan baru mahasiswa maupun bagi tutor. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan agar tidak mengganggu kegiatan tutor lainnya.
Berdasarkan kriteria tersebut, terpilih matakuliah ADBI4500 (Ujian KomprehensifTertulis atau UKT Program Studi Administrasi Niaga).
2)
Penentuan pendekatan tutorial.
Pada pengembangan tutel di tingkat universitas, pemilihan mata kuliah dilakukan dengan pendekatan pengayaan wawasan keilmuan. Pada pengembangan tutel di tingkat fakultas, pemilihan matabkuliah dilakukan tidak hanya dengan pendekatan tersebut, namun juga dengan pendekatan pengayaan keterampilan belajar baru (mengungkapkan ide/pemikiran secara tertulis). Pendekatan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa mahasiswa yang mengambil UKT umumnya telah menyelesaikan/mengikuti ujian mata kuliah penunjangnya, sehingga mereka dianggap sudah memiliki penguasaan atas materi mata kuliah tersebut. Jika selama ini mereka gagal UKT, hal tersebut lebih disebabkan karena mereka tidak tahu cara mengerjakan UKT.
3)
Sosialisasi program tutorial.
Sosialisasi dilakukan dengan pengiriman brosur kepada mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan mengikuti UKT. Pada tahap pengembangan ini, brosur dikembangkan dengan memberikan berbagai informasi dan pilihan media yang diperiukan mahasiswa (surat cetak, fax-internet, dan e-mail).
4)
Rekrutmen tutor.
Tutor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: menguasai materi, pernah mengikut program PATUT, dan pernah mengikuti pelatihan tutel.
Pengembangan yang dilakukan di tingkat fakultas ini tidak langsung berjalan dengan lancar, karena berbagai kendala. Pembahasan mengenai kendala-kendala pengembangan e-learning , akan dibahas kemudian. Berikut ini akan dibahas langkah-langkah yang dilakukan dalam pengembangan di tingkat fakultas, yaitu:
Pengembangan materi untuk tutorial. Materi yang dikembangkan pada tutel adalah materi yang dikembangkan pula untuk kepentingan tutorial tatap muka.
Materi dimodifikasi karena tutorial elektronik berbeda dengan tatap muka. Berbagai kesalahan penulisan materi dapat diatasi oleh tutor pada tutorial tatap muka, namun kesalahan tersebut tidak dapat diperbaiki pada tutorial elektronik. Oleh karena itu, materi perlu disesuaikan dengan format untuk kepentingan tutorial elektronik ini. Pengembangan materi ini terdiri dari dua tahap yaitu pengembangan materi oleh ahli materi dan pengembangan teknis untuk memasukkan materi ke dalam format tutorial elektronik.
Pengembangan strategi tutorial. Pengembangan strategi pembelajaran tutorial ternyata berbeda dengan tutorial tatap muka. Tutor pada tutorial elektronik perlu lebih aktif mendesain proses tutorial agar mahasiswa aktif dalam tutorial. Baik tutor maupun mahasiswa masih dalam proses pencarian bentuk proses tutorial elektronik, sehingga proses tutorial elektronik ini memerlukan pengamatan terus untuk memperoleh bentuk yang sesuai untuk tutor dan mahasiswa.
Pengembangan teknis administrasi tutorial. Teknis adiministrasi tutorial elektronik merupakan aspek organisasi yang perlu dikembangkan karena menimbulkan perubahan dalam pengelolaan organisasi.
Penerapan tutorial (akan dibahas selanjutnya).
Evaluasi, dan
Perbaikan strategi tutorial.
 Pelaksanaan Tutorial Elektronik
Mata kuliah-mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa untuk kepentingan tutorial elektronik adalah mata kuliah yang dikembangkan bersama dan dikoordinir di tingkat universitas. Namun strategi pembelajaran yang dikembangkan di FISIP untuk mata kuliah tertentu berbeda dengan tingkat fakultas. Pengembangan yang dilakukan FISIP adalah untuk mencari altematif strategi pembelajaran melalui e-learning.
Pada tingkat universitas, fungsi tutor cenderung reaktif dalam arti baru akan merespon jika mahasiswa mengirim e-mail kepada tutor untuk matakuliah yang ditawarkan. Dengan cara tersebut, tutorial kurang berjalan. Laporan penelitian dari tim P2M (Anggoro dkk, 2001) menunjukkan bahwa dari 40 matakuliah yang ditawarkan, temyata belum semua dimanfaatkan oleh mahasiswa. Mata kuliah yang diakses oleh mahasiswa adalah sebanyak 28 dari 40 mata kuliah (70%), dengan interaksi yang sangat rendah yaitu dari mahasiswa ke tutor hanya 1 - 2 kali dan dari tutor ke mahasiswa 1 - 4 kali.
Hasil penelitian Anggoro dan tim (Anggoro dkk, 2001) mengidentifikasi alasan mahasiswa tidak mengirim e-mail, yaitu: (1) malu karena merasa kurang menguasai materi, (2) masih belum mengerti cara mengirim e-mail, (3) mata kuliah yang mereka ikuti bukan merupakan mata kuliah yang sedang diregistrasikan, dan (4) tidak mengetahui alamat peserta tutel lainnya. Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa “gamang” dalam mengikuti tutel.
Keadaan tersebut jelas sangat memprihatinkan, oleh karena itu, di tingkat fakultas diakukan pengembangan tutorial elektronik untuk matakuliah tertentu yang diminati mahasiswa, yaitu mata kuliah persipan UKT ADB14500. Dengan mempertimbangkan bahwa pengembangan infrastruktur telah dilakukan di tingkat universitas, maka pengembangan di tingkat fakultas dilakukan lebih kearah pengembangan strategi pembelajaran dan tutorial. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh tim P2M dan kondisi mahasiswa yang nampaknya belum terbiasa dan siap dengan e-learning, maka pengembangan dilakukan dengan membuat tutorial penghubung antara tutorial tatap muka dan tutorial elektronik yaitu tutorial tertulis melalui surat cetak. Pelaksanaan tutorial tertulis cetak dan tutorial berbasis e-learning dimulai tahun 2001. Pelaksanaan tutorial diawali dengan penyebaran informasi melalui brosur kepada mahasiswa yang berpotensi mengikuti UKT atau ujian komprehensif. Peserta yang mendaftar mengikuti tutorial cukup menjanjikan di mana 27 respon datang dari mahasiswa dari sejumlah 72 peserta UKT dan sekitar 100 orang yang dikirim brosur. Tiga diantaranya mendaftar melalui e-mail. Sedangkan yang lain, memilih tutorial tertulis cetak. Untuk 2002 akan dilanjutkan pelaksanaan tutorial melalui media cetak dan komputer berbasis jaringan internet (e-mail dan Manhattan Virtual Classroom) yang diintegrasikan dengan fax-internet khusus untuk mata kuliah persiapan UKT ADBI4500.
Pada tahap awal pelaksanaan tutel, berbagai kendala muncul. Namun dengan adanya tutonal penghubung, yaitu tutorial tertulis cetak maka kendala-kendala tersebut dapat diminimalkan. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah:
1.prediksi jadwal tutorial yang masih kurang tepat, sehingga proses tutorial belum berjalan dengan lancar.
2. ketidaksiapan staf administratif untuk mendata peserta tutorial
3. ketidaksiapan tutor merespon aktivitas tutorial bermedia ini.

Peran TIK Dalam Pembelajaran
Penerapan Yang Seharusnya Vs Penerapan Ynag Kurang Tepat
UNESCO mengkategorikan pemanfaatan ICT untuk pembelajaran di sekolah ke dalam empat level seperti di gambarkan sebagai berikut:
Tahap emerging, artinya baru menyadari akan pentingnya TIK untuk pembelajaran dan belum berupaya untuk menerapkannya. Tahap applying, satu langkah lebih maju dimana TIK telah dijadikan sebagai obyek untuk dipelajari (learning to useICT). Pada tahap integrating, TIK telah diintegrasikan ke dalam kurikulum(pembelajaran. Tahap transforming merupakan tahap yang paling ideal dimana TIK telah menjadi katalis bagi perubahan/evolusi pendidikan. TIK diaplikasikan secra penuh baik untuk proses pembelajaran(instructional purpose) maupun untuk administrasi (administrative purpose). Sementara itu bila dilihat dari sisi peran TIK bagi siswa, maka e-learning yang sesungguhnya adalah pemanfaatan TIK secara relevan dan tepat oleh guru untuk memungkinkan siswa :
v  Menjadi partisipan aktif. Jika pemanfaatan TIK dalam pembelajaran masih membuat siswa tetap pasif, seperti guru mengajar dengan menggunakan slide presntasi dimana masih dominan adalah dirinya, maka sia-sialah teknologi tersebut digunakan.
v  Menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan serta berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli.
v   Belajar secara kolaboratif dengan siswa lain.
Jadi, secara teoritis, e-learning yang sesungguhnya adalh pemanfaatan TIK yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang :
v  Aktif; memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna.
v  Konstruktif; memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dab keraguan yang selama ini ada dalam benaknya.
v  Kolaboratif; memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya.
v  Antusiatik; memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
v  Dialogis; memungkinkan proses belajarsecara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun di luar sekolah.
v  Kontekstual; memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real world) melalui pendekatan “problem-based atau case-based learning”.
v  Reflektif; memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagi bahan dari prose belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton et all (2001)).
v  Multisensory; memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual maupun kinestetik (dePorter et al, 2000)
v  High order thinking skills training; memungkinkan untuk melatih kemampuan berfikir tingkat tinggi(seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll) serta secara tidak langsung juga meningkatkan “ICT&media literacy” (Fryer, 2001)

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Followers

Komentar ya!

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Copyright © 2010- Rizki Ariyanti
Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net